Minggu, 01 Januari 2012

Pembinaan Bahasa Indonesia


Menjadikan Sekolah sebagai Basis Pembinaan Bahasa Indonesia

 

Seperti sudah banyak diungkap oleh para pemerhati dan pengamat bahasa Indonesia bahwa rendahnya mutu penggunaan bahasa Indonesia tak hanya berlangsung di kalangan siswa, tetapi juga telah jauh meluas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan, para pejabat yang secara sosial seharusnya menjadi anutan pun tak jarang masih ”belepotan” dalam menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Mewabahnya penggunaan bahasa Indonesia bermutu rendah, kalau boleh disebut demikian, menurut hemat saya, lantaran belum jelasnya strategi dan basis pembinaan. Pemerintah cenderung cuek dan menyerahkan sepenuhnya kepada Pusat Bahasa –sebagai tangan panjangnya—untuk menyusun strategi dan kebijakan. Namun, harus jujur diakui, strategi dan kebijakan Pusat Bahasa masih cenderung elitis. Artinya, kebijakan yang dilakukan Pusat Bahasa hanya menyentuh lini dan kalangan tertentu, seperti Jurusan Pendidikan Bahasa atau Fakultas Sastra di Perguruan Tinggi. Sementara, Pendidikan Dasar dan Menengah yang seharusnya menjadi basis pembinaan justru luput dari perhatian. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah diserahkan sepenuhnya kepada para guru bahasa. Layak dipertanyakan, sudahkah para guru bahasa Indonesia di sekolah memiliki kompetensi yang memadai untuk menjadi satu-satunya sumber dalam membumikan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar?
Upaya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar tampaknya akan terus terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan kejelasan strategi dan basis pembinaan. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini adalah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah kebahasaan yang berlaku.
Melahirkan generasi yang memiliki idealisme dan apresiasi tinggi terhadap penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar memang bukan hal yang mudah. Meskipun demikian, jika kemauan dan kepedulian dapat ditumbuhkan secara kolektif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, tentu bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.
Tiga Agenda
Setidaknya ada tiga agenda penting yang perlu segera digarap. Pertama, menciptakan suasana kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa secara baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan keteladanan dalam hal penggunaan bahasa, bukannya malah melakukan ”perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupun sintaksis seperti yang selama ini kita saksikan. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menciptakan iklim berbahasa yang kondusif; mampu menjadi media alternatif dan ”patron” berbahasa setelah orang tua dinilai gagal dalam memberikan keteladanan.
Kedua, menyediakan buku yang ”bergizi”, sehat, mendidik, dan mencerahkan bagi dunia anak. Buku-buku yang disediakan tidak cukup hanya terjaga bobot isinya, tetapi juga harus betul-betul teruji penggunaan bahasanya sehingga mampu memberikan ”vitamin” yang baik ke dalam ruang batin anak. Perpustakaan sekolah perlu dihidupkan dan dilengkapi dengan buku-buku bermutu, bukan buku ”kelas dua” yang sudah tergolong basi dan ketinggalan zaman. Pusat Perbukuan Nasional (Pusbuk) yang selama ini menjadi ”pemasok” utama buku anak-anak diharapkan benar-benar cermat dan teliti dalam menyunting dan menganalisis buku dari aspek kebahasaan.
Ketiga, menjadikan sekolah sebagai basis pembinaan bahasa Indonesia. Sebagai institusi pendidikan, sekolah dinilai merupakan ruang yang tepat untuk melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Di sanalah jutaan anak bangsa memburu ilmu. Bahasa Indonesia jelas akan menjadi sebuah kebanggaan dan kecintaan apabila anak-anak di sekolah gencar dibina, dilatih, dan dibimbing secara serius dan intensif sejak dini. Bukan menjadikan mereka sebagai ahli atau pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini membutuhkan kesiapan fasilitas kebahasaan yang memadai di bawah bimbingan guru yang profesional dan mumpuni.
Dengan menjadikan sekolah sebagai basis dan sasaran utama pembinaan bahasa, kelak diharapkan generasi bangsa yang lahir dari ”rahim” sekolah benar-benar akan memiliki kesetiaan, kebanggaan, dan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa negerinya sendiri, tidak mudah larut dan tenggelam ke dalam kubangan budaya global yang kurang sesuai dengan jatidiri dan kepribadian bangsa. Bahkan, bukan mustahil kelak mereka mampu menjadi ”pionir” yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Iptek yang berwibawa dan komunikatif di tengah kancah percanturan global, tanpa harus kehilangan kesejatian dirinya sebagai bangsa yang tinggi tingkat peradaban dan budayanya.

ABREVIASI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Perumusan dan Pembatasan Masalah
            Proses morfologis adalah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Dengan kata laian, proses morfologis adalah proses penggabungan morfem-morfem menjadi kata (Samsuri, 1982).
            Secara teoritis, proses morfologis dibedakan menjadi dua macam, yitu proses morfologis menurut teoti konvensional dan proses morfologis menurut teori nonkonvensional. Menurut teori konvensional, proses morfologis itu bercirikan adanya perubahan bentuk (struktur), perubahan makna, dan (kadang-kadang) perubahan jenis(kategori). Sedangkan menurut teori nonkonvensional, proses morfologis itu bercirikan adanya perubahan bentuk, makna, kategori, dan status dasarnya( yaitu dari leksem berubah menjadi kata).
            Menurut Harimurti Kridalaksana (1989), menyebutkan enam proses morfologis, yaitu:
1.      derivasi zero
2.      afiksasi
3.      reduplikasi
4.      abreviasi (pemendekan)
5.      omposisi (perpaduan)
6.      derivasi balik

B. Tujuan Penulisan Makalah
            Dalam membuat makalah ini, penulis memiliki beberapa tujuan yang disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Pada mulanya penulis hanya bertujuan membuat makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas dari dosen mata kuliah Morfologi. Akan tetapi, ketika penulis mulai menyususn dan mengumpulkan bahan untuk membuat makalah ini, akhirnya penulis menyadari bahwa tujuan penulisan makalah ini lebih diutamakan pada penambahan wawasan bagi penulis sendiri mengenai abreviasi sebagai salah satu proses morfologis.
BAB II
ABREVIASI

1. Pengertian Abreviasi

            Menurut teori nonkonvensional, abreviasi merupakan salah satu proses morfologis. Abreviasi adalah proses pemenggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga terjadilah bentuk baru yang berstatus kata. Istilah lain untuk abreviasi adalah pemendekan, sedangkan hasil prosesnya disebut kependekan.
            Dalam proses ini, leksem atau gabungan leksem menjadi kata kompleks atau akronim atau singkatan dengan pelbagai abreviasi, yaitu dengan pemenggalan, kontraksi, akronimi, dan penyingkatan.

2. Jenis-jenis Kependekan

            Bentuk-bentuk kependekan muncul akibat terdesak oleh kebutuhan untuk berbahasa secara praktis dan cepat. Di antara bentuk-bentuk kependekan tersebut terdapat bentuk-bentuk berikut:
a.       Singkatan
Singkatan yaitu salah satu hasil proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf maupun yang tidak, misalnya: FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia), KKN (Kuliah Kerja Nyata), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
b.      Penggalan
Penggalan yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian dari leksem, seperti Prof (Profesor), Kol (Kolonel), Pak (Bapak).
c.       Akronim
Akronim yaitu proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik bahasa Indonesia seperti SIM (Surat Izin Mengemudi), IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), LAN (Lembaga Administrasi Negara).
d.      Kontraksi
Kontarksi yaitu proses pemendekan yang meringkaskan leksem dasar atau gabungan leksem seperti takkan (tidak akan), rudal (peluru Kendal), sendratari (seni drama tari).
e.       Lambang huruf
Lambang huruf yaitu proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih yang menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan atau unsur, seperti cm (centimeter), kg (kilo gram), Au (Aurum).

3. Klasifikasi Bentuk-bentuk Kependekan

a. Singkatan
         Bentuk singkatan terjadi karena proses-proses berikut:
1.      penggalan huruf pertama tiap komponen. Misalnya: H = Haji, AA = Asia-Afrika, RS = Rumah Sakit.
2.      pengekalan huruf pertama dengan pelesapan konjungsi, preposisi, reduplikasi, dan artikulasi kata. Misalnya: IKIP = Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
3.      pengulangan huruf pertama dengan bilangan bila berulang. Misalnya 3D = Dilihat, Diraba, Diterawang.
4.      pengekalan dua huruf pertama dari kata. Misalnya: Ny = nyonya, Wa = Wakil.
5.      pengekalan tiga huruf pertama dari sebuah kata. Misalnya: Okt = Oktober.
6.      pengekalan empat huruf pertama dari suatu kata. Misalnya: sekr = sekretaris, Sept = September.
7.      pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir kata. Misalnya: Ir = Insinyur.
8.      pengekalan huruf pertama dan huruf ketiga. Misalnya: Gn = Gunung.
9.      pengekalan huruf pertama dan terakhir dari suku kata pertama dan huruf pertama dari suku kata kedua. Misalnya: Kpt = Kapten.
10.  pengekalan huruf pertama kata pertama dan huruf pertama kata kedua dari gabungan kata. Misalnya: VW = Volkswagen.
11.  pengekalan dua huruf pertama dari kata pertama dan huruf pertama kata kedua dalam suatu gabungan kata. Misalnya Swt = Swatantra.
12.  pengekalan huruf pertama suku kata pertama dan huruf pertama dan terakhir suku kata kedua dari suatu kata. Misalnya: Bdg = Bandung, tgl = tanggal.
13.  pengekalan huruf pertama dari tiap suku kata. Misalnya: hlm = halaman.
14.  pengekalan huruf pertama dan huruf keempat dari suatu kata. Misalnya:DO = depot.
15.  pengekalan huruf yang tidak beraturan. Misalnya: Kam = keamanan.

b. Akronim dan Kontraksi
         Akronim dan kontraksi sukar dibedakan, sering tumpang tindih. Sebagai pegangan dapat ditentukan bahwa bila seluruh kependekan itu dilafalkan sebagai kata wajar, kependekan itu merupakan akronim.
         Akronim dapat terjadi karena proses-proses berikut:
1.      akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Misalnya: ABRI=Angkatan Bersenjata Rpublik Indonesia.
2.      akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital. Misalnya: Akabri= Akademi angkatan bersenjata Republik Indonesia.
3.      akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil. Misalnya: pemilu= pemilihan umum.


Catatan:
Jika dianggap perlu membentuk akronim, hendaknya diperhatikan jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. Dan akronim dibentuk dengan mngindahkan keserasian kombinasi vocal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
Secara garis besar, kontraksi mempunyai subklasifikasi sebagai berikut:
1.      pengekalan suku pertama dari tiap komponen. Misalnya: Orba=orde baru.
2.      pengekalan suku pertama komponen pertama dan pengekalan kata seutuhnya. Misalnya: angair=angkutan air.
3.      pengekalan suku kata terakhir dari tiap komponen. Misalnya: Gatrik=tenaga listrik.
4.      pengekalan suku pertama dari komponen pertama dan kedua serta huruf pertama dari komponen selanjutnya. Misalnya: Gapeni= Gabungan Pengusaha Apotek Nasional Indonesia.
5.      pengekalan suku pertama tiap komponen dengan pelesapan konjungsi. Misalnya: Anpuda= Andalan Pusat dan Daerah.
6.      pengekalan huruf pertama tiap komponen. Misalnya: KONI=Komite Olahraga Nasional Indonesia (bertumpang tindih dengan singkatan).
7.      pengekalan huruf pertama tiap komponen frasa dan pengekalan dua huruf pertama komponen terakhir. Misalnya: Aika= Arsitek Insinyur Karya.
8.      Pengekalan dua huruf pertama tiap komponen.Misalnya: Unud= Universitas Udayana.
9.      pengekalan tiga huruf pertama tiap komponen. Misalnya: Puslat=Pusat latihan.
10.  pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan tiga huruf pertama komponen kedua disertai pelesapan konjungsi. Misalnya: abnon=abang dan none.
11.  pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan ketiga serta pengekalan huruf pertama komponen kedua. Misalnya: Nekolim= Neokolonialisme, Kolonialisme, imperialis.
12.  pengekalan huruf pertama komponen pertama dan ketiga serta pengekalan huruf pertama komponen kedua. Misalnya: Nasakom=Nasional, Agama, Komunis.
13.  pengekalan tiga huruf pertama tiap komponen serta pelesapan konjungsi. Misalnya: Falsos=falsafah dan sosial.
14.  pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan tiga huruf pertama komponen kedua. Misalnya: Jabar=Jawa Barat.
15.  pengekalan empat huruf pertama tiap komponen disertai pelesapan konjungsi. Misalnya:  Agitrop= agitasi dan propaganda.
16.  pengekalan berbagai huruf dan suku kata yang sukar dirumuskan. Misalnya: Akaba= Akademi Perbankan.

c. Penggalan
1.      penggalan suku pertama dari suatu kata. Misalnya: Dok= Dokter.
2.      pengekalan suku terakhir suatu kata. Misalnya: Pak=bapak.
3.      pengekalan tiga huruf pertama dari suatu kata. Misalnya: Dep= Departemen.
4.      pengekalan empat huruf pertama dari suatu kata. Misalnya: Prof= Profesor.
5.      pengekalan kata terakhir dari suatu frasa. Misalnya: ekspres=kereta api ekspres.
6.      pelesapan sebagian kata. Misalnya: bahwa sesungguhnya = bahwasanya.

d. Lambang huruf
         lambang huruf dapat diklasifikasikan menjadi:
1. lambang huruf yang menandai bahan kimia atau bahan lain.
a.       Pengekalan huruf pertama dari kata. Misalnya: N= Nitrogen.
b.      Pengekalan dua huruf pertama dari kata. Misalnya: Na=natrium.
c.       Pengekalan huruf dan bilangan yang menyatakan rumus bahan kimia. Misalnya: H2O = hydrogen dioksida.
d.      Pengekalan huruf pertama dan ketiga. Misalnya: Mg = magnesium.
e.       Pengekalan gabungan lambang huruf. Misalnya: Na Cl = Natrium Klorida.

2. lambang huruf yang menandai ukuran.
a.      Pengekalan huruf pertama. Misalnya: g = gram.
b.      Pengekalan huruf pertama dari komponen gabungan. Misalnya: km = kilometer.
c.       Pengekalan huruf pertama dan terakhir dari komponen pertama dan huruf pertama komponen kedua. Misalnya: dam= decameter.
d.      Pengekalan huruf pertama, ketiga, dan keempat. Msalnya: yrd= yard.

3. lambang huruf yang menyatakan bilangan.
Huruf-huruf yang digunakan sebagai lambang bilangan adalah I=1, V=5,X=10, L=50.

4. lambang huruf yang menandai kota/Negara/alat angkutan.
a.       Pengekalan dua huruf pertama ditambah satu huruf pembeda. Misalnya: SIN= Singapura, DJB=Jambi.
b.      Pengekalan tiga huruf konsonan. Misalnya: JKT= Jakarta.
c.       Lambang huruf yang menandai nomor mobil. Misalnya: A= Banten, E = Cirebon.

5. lambang huruf yang menyatakan uang.
Lambang huruf yang digunakan untuk menandai uang, antara lain: Rp = rupiah, $= Dolar, Fr= Frenc.

6. lambang huruf yang dipakai dalam berita kawat.
Lambang huruf yang dipergunakan dalam berita kawat, antara lain: HRP= harap, DTG= datang, SGR= Segera.

4. Afiksasi terhadap Kependekan
            Setelah mengalami leksikalisasi, kependekan dapat mengalami gramatikalisasi berupa proses afiksasi. Contoh:

Afiks:
Bentuk kependekan:
Hasil:
Makna:
di-
tilang
ditilang
kena
di-kan
dubes
didubeskan
jadi

inpres
diinpreskan


KB
di-KB-kan


mahmilub
dimahmilubkan


TV
di-TV-kan

me-kan
ormas
mengormaskan


mahmilub
memahmilubkan

ber-
parpol
berparpol
mempunyai


5. Reduplikasi atas Kependekan
            Beberapa bentuk kependekan dapat direduplikasikan, seperti ormas-ormas, SD-SD, Kanwil-Kanwil.

6. Penggabungan atas Kependekan

            Penggabungan bentuk-bentuk kependekan dapat terjadi antara dua bentuk kependekan atau lebih. Penggabungan beberapa kependekan tidak hanya membentuk kata atau frasa,  melainkan juga dapat membentuk kalimat. Misalnya:
·         Singkatan + singkatan : RT RW
·         Akronim + singkatan : HUT RI
·         Penggalan + penggalan : Kabag Kalab
·         Akronim + akronim : BAPEDA JABAR
·         Singkatan + penggalan + akronim = Ttg. RUU Ormas (kalimat)

7. Pelesapan atas kependekan
            Ada beberapa proses pelesapan yang dapat terjadi pada kependekan, antara lain:
a.       Pelesapan huruf: Lurgi = luar negeri, klompen = kelompok pendengar.
b.      Pelesapan suku kata: Gatra = Gabungan Tentara, Gestok = gerakan satu oktober.
c.       Pelesapan kata: Gabis = Gabungan pengusaha bioskop.
d.      Pelesapan afiks: KOTI = Komando operasi tertinggi.
e.       Pelesapan konjungsi, preposisi, partikel, atau reduplikasi: porakh = pecan olahraga Kesenian dan Hiburan, DGI = Dewan gereja-geraja di Indonesia.

8. Penyingkiran atas Kependekan
            Proses penyingkatan dapat terjadi dalam kependekan sehingga ada penyingkatan dalam singkatan. Misalnya: AMD = ABRI masuk desa.

















BAB III

PENUTUP


1. Kesimpulan
            Abreviasi adalah salah satu proses morfologis menurut teori nonkonvensional. Dalam proses ini leksem atau gabungan leksem menjadi kata kompleks atau akronim atau singkatan dengan pelbagai abreviasi, yaitu dengan pemenggalan kontraksi, akronimi, dan penyingkatan. Misalnya, abreviasi professor menjadi prof, bapak menjadi pak. Pemenggalan: peluru kendali menjadi rudal. Kontraksi: tidak akan menjadi takkan. Akronim: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi ABRI. Singkatan: Tentara Nasional Insonesia menjadi TNI.


2. Kritik dan Saran
            Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang telah mempelajari makalah ini, agar kelak di kemudian hari penulis dapat lebih baik lagi dan kesalahan-kesalahan dalam penulisan makalah insya Alloh tidak akan terulang lagi.













DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Bandung: Yrama Widya.

Kridalaksana, Harimukti. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Maryam, Siti. 2006. Diktat: Morfologi Bahasa Indonesia. Cianjur: FKIP Universitas Suryakancana.

Prawirasumantri, Abud. 2006. Morfologi Bahasa Indonesia. Cianjur: FKIP Universitas Suryakancana.

Samsuri. 1982. Analisis Bahasa: Memahami Bahasa secara Ilmiah. Jakarta: Erlangga. 

Delapan Jenis Afiks dalam bahasa Indonesia

1.      Prefiks
Prefiks disebut juga awalan. Prefiks adalah afiks yang ditempatkan di bagian muka suatu kata dasar (Alwi dll, 1998: 31). Istilah ini berasal dari bahasa Latin praefixus yang berarti melekat (fixus, figere) sebelum sesuatu (prae). Ketiga bahasa yang dianalisis di sini semuanya memiliki prefiks.
Contoh:
Bahasa Arab: s-g-l  ‘sibuk’ +  a- à asyghal ‘menyibukkan.’
Bahasa Inggris: tangible ‘kasat mata’ + in- à intangible ‘tidak kasat mata’
Bahasa Indonesia: ajar + meng- à mengajar

2.      Sufiks
Sufiks atau akhiran adalah afiks yang digunakan di bagian belakang kata (Alwi dll, 1998:31). Istilah ini juga berasal dari bahasa Latin suffixus yang berarti melekat (fixus, figere) di bawah (sub[1]) . Ketiga bahasa yang dianalisis di sini semuanya memiliki sufiks.
Contoh:
Bahasa Arab: b-sy-r  ‘manuasia’ +  -i à basyari ‘manusiawi’
Bahasa Inggris: amaze  ‘kagum’ + -ment à amazement ‘kekaguman’
Bahasa Indonesia: beli + -kan à belikan

3.      Infiks
Infiks atau sisipan adalah afiks yang diselipkan di tengah kata dasar (Alwi dll, 1998:32). Dalam bahasa Latinnya adalah infixus yang berarti melekat (fixus, figere) di dalam (in). Bahasa Arab tidak memiliki infiks. Bahasa Indonesia memiliki beberapa infiks, salah satunya adalah infiks –em- dalam kata gemetar (dari kata getar). Dalam bahasa Inggris, beberapa ahli bahasa menyebutkan adanya infiks dalam situasi tertentu. Yule (1994) menyebutkan infiks bloody untuk ungkapan emosi, contohnya Hallebloodyluyah! (dari kata Halleluyah). Katamba (1994: 44-45) menyebutkan bahwa infiks hanya ada dalam bahasa Inggris kontemporer yang mungkin tidak digunakan dalam kondisi yang sopan, contoh: in-fuckin-stantiate. Menurut pendapat penulis, satu kata (yang mungkin memiliki lebih dari satu morfem[2]) tidak seharusnya dimasukkan dalam kategori afiks, karena afiks adalah morfem terikat. Oleh sebab itu, menurut penulis, bahasa Inggris tidak memiliki infiks.

4.      Konfiks
Konfiks disebut juga ambifiks atau sirkumfix. Secara etimologis dari bahasa Latin, ketiga istilah ini memiliki kesamaan arti. Kon- berasal dari kata confero yang berarti secara bersamaan (bring together), ambi- berasal dari kata ambo yang berarti kedua-duanya (both), dan sirkum- berasal dari kata circumdo yang berarti ditaruh disekeliling (put around) (Gummere dan Horn, 1955). Menurut Alwi dll (1198:32) konfiks adalah gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan dan secara serentak diimbuhkan. Bahasa Arab dan bahasa Inggris memiliki kata yang dibentuk dengan prefiks dan sufiks.
Contoh:
Bahasa Arab: dh-r-b  ‘memukul’+ ma- dan -un à madharabun ‘tempat memukul’
Bahasa Inggris: accept  ‘menerima’ + un- dan -able à unacceptable ‘tidak berterima’
Akan tetapi, contoh tersebut hanya merupakan kombinasi afiks, bukan konfiks karena tidak secara serentak diimbuhkan. Dalam bahasa Arab, ada kata madharab dan dalam bahasa Inggris ada kata acceptable. Konfiks dapat ditemukan dalam bahasa Indonesia, contohnya kata kelaparan (dari kata lapar). Konfiks ke-…-an diimbuhkan secara serentak (tidak ada kata kelapar atau laparan). Kridalaksana dll (1985:20) menyebutkan ada empat konfiks dalam bahasa Indonesia, yaitu: ke-…-an, peN-…-an, per-…-an, dan ber-…-an.

5.      Interfiks
Bauer(1988: 23-24) menyebut interfiks sebagai afiks yang muncul di antara dua elemen yang membentuk kata majemuk. Kata interfiks berasal dari bahasa Latin inter yang berarti berada di antara, dan fixus yang berarti melekat. Dengan demikian, dapat dibedakan dengan infiks yang berarti melekat di dalam. Contoh interfiks dapat dilihat dalam bahasa Arab. Interfiks -ul- muncul di antara kata birr dan walad, sehingga menjadi birr-ul-walad ‘bakti anak’. Penulis tidak menemukan interfiks dalam bahasa Indonesia. Untuk bahasa Inggris, penulis berpendapat bahwa bahasa Inggris dapat dianggap memiliki interfiks karena pengaruh bahasa Latin. Contohnya interfiks -o- dalam kata morphology. Morph dan logy memiliki lema tersendiri dalam kamus Webster’s New World. Gabungan kedua kata ini memerlukan interfiks -o- sehingga gabungannya bukan morphlogy melainkan morphology[3]. Istilah morfologi dalam bahasa Indonesia tidak dapat dianggap memiliki interfiks -o- karena hanya kata morf yang ada dalam lema KBBI, tidak ada lema logi.

6.      Simulfiks
Definisi simulfiks dapat dilihat dari asal katanya dalam bahasa Latin simulatus ‘bersamaan, membentuk’ dan fixus ‘melekat’. Menurut Kridalaksana dll (1985: 20), simulfiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia, simulfiks dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar. Simulfiks masih dianggap hanya terdapat dalam bahasa Indonesia tidak baku, contoh: kopi à ngopi. Bahasa Arab dan bahasa Inggris tidak memiliki simulfiks.

7.      Superfiks
Superfiks atau suprafiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem suprasegmental (Kridalaksana dll, 1985: 21). Bauer (1988:29) menyamakan istilah superfiks dengan simulfiks. Dari asal kata bahasa Latin, supra berarti di atas (above) atau di luar (beyond), sedangkan simulatus berarti bersamaan. Dari contoh suprafiks dalam bahasa Inggris, ‘discount (n) à dis’count (v), dapat kita lihat bahwa suprafiks berada pada tataran suprasegmental sehingga istilah suprafiks lebih tepat dari pada simulfiks. Bahasa Arab dan bahasa Indonesia tidak memiliki suprafiks.

8.      Transfiks
Transfiks adalah afiks yang muncul dikeseluruhan dasar (throughout the base). Dalam bahasa Latin trans berarti disepanjang (across) atau di atas (over). Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak memiliki transfiks. Afiks yang termasuk transfiks dapat ditemukan dalam bahasa Arab. Contohnya transfiks a-a-a:
      f-r-h     ‘senang’               + a-a-a à   farraha      ‘menyenangkan’
      m-d-d   ‘memanjangkan’ + a-a-a à   maddada   ‘memanjang-manjangkan’
            k-f-r     ‘mengkafiri’        + a-a-a à   kaffara      ‘menisbatkan kekafiran’


IV. Kesimpulan
            Dari pembahasan jenis afiks di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam bahasa Inggris, ada empat afiks, yaitu: prefiks, sufiks, interfiks, dan superfiks; dalam bahasa Indonesia ada lima afiks, yaitu: prefiks, sufiks, infiks, konfiks, dan simulfiks; dan dalam bahasa Arab ada empat afiks, yaitu: prefiks, sufiks, interfiks dan transfiks.
           

PUSTAKA ACUAN
Agnes, Michael (Ed). 2001 (1999). Webster’s New World College Dictionary (Edisi ke-4). Cleveland: IDG Books Worldwide, Inc.
Ali, Attabik dan Ahmad Zuhdi Muhdar. 1996. Kamus Al-‘Ashri. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum.
Alwi, Hasan dll. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.
Alwi, Hasan (Ed). 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.
Bauer, Laurie. 1988. Introducing Linguistic Morphology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language (Edisi ke-6). Orlando: Harcourt Brace College Publishers.
Gummere, John Flagg dan Annabel Horn. 1955. Using Latin. Chicago: Scott, Foresman and Company.
Katamba, Francis. 1994 (1993). Modern Linguistics: Morphology. London: The Macmillan Press Ltd.
Kridalaksana, Harimurti dll. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Yule, George. 1994. The Study of Language. Cambridge University Press.

PENGGOLONGAN KATA BAHASA INDONESIA SECARA NONTRADISIONAL

PENGGOLONGAN KATA BAHASA INDONESIA SECARA NONTRADISIONAL I

A.    Prakata
               Penggolongan kata secara tradisional berlandaskan arti, namun sejak Ferdinand de Saussure memperkenalkan Linguistik struktural pada awal abad XX, para ilmu bahasawan dan tata bahasawan bahasa Indonesia merasa tidak puas atas pembagian jenis kata secara tradisional itu. Mereka yang merasa tidak puas itu antara lain Slametmulyana, Anton M. Moeliono, Gorys Keraf, S. Wojowasito, dan Ramlan. Pada bagian ini akan dipaparkan penggolongan kata menurut empat pakar bahasa seperti urutan di atas, selanjutnya pada bab terpisah akan dipaparkan pendapat Ramlan.

B.     Penggolongan Kata oleh Slametmulyana
               Slametmulyana (1957:13-198) dalam bukunya Kaidah Bahasa Indonesia IImenggolongkan kata ditinjau dan fungsinya dalam kalirnat. Menurutnya, kata dapat digolongkan menjadi empat regu yaitu: (1) kata-kata yang pada hakekatnya hanya rnelakukan jabatan gatra sebutan; (2) kata-kata yang dapat melakukan jabatan gatra pangkal dan gatra sebutan; (3) kata-kata pembantu regu II; dan (4) kata-kata pembantu pertalian. Ramlan (185:39-41) mengikhtisarkannya sebagai berikut.
               1) Kata-kata yang pada hakekatnya hanya rnelakukan jabatan gatra sebutan
               Golongan kata ini terdiri atas dua golongan yaitu (1) kata keadaan, misalnya: besar, sukar, sibuk, jauh; dan (2) kata kerja, misalnya: mendayung, digigit, tidur, yang dapat dibedakan lagi menjadi: (a) kata kerja buntu yaitu kata kerja yang menyatakan bahwa perbuatan yang ditujukan terbatas dalam lingkungannya sendiri, misalnya: jatuh, menangis, (b) kata kerja langsung ialah kata kerja yang dapat berhubungan dengan pelaku kedua (objek) tanpa perantaraan kata lain, misalnya: menggali, membaca, dan (c) kata kerja sambung ialah kata kerja yang dalan hubungannya dengan pelaku kedua menggunakan perantara lain jadi hubungannya langsung dengan sambungan, misalnya: cinta pada cinta kepada ayah.
               2) Kata-kata yang dapat melakukan jabatan gatra pangkal dan gatra sebutan
               Yang termasuk ke dalam golongan ini ialah kata benda, kata kerja, kata keadaan, dan kata bilangan.
a.       Kata benda dpt dibedakan menjadi dua yaitu: (1) kata benda nyata yang dapat dilihat, didengar, diraba, dan dirasai, misalnya: batu, orang, laut dan (2) kata benda yang tidak nyata yaitu kata bends yang menyatakan keadaan, hal, sifat, dan sebagainya yang dikhayalkan seolah-olah berwujud. misalnya: keindahan, kebesaran, penghidupan.
b.      Kata ganti benda dapat dibedakan menjadi: (1) kata penunjuk yakni itu dan ini (2) kata pemisah yakni yang dan tempat (3) kata ganti diri dan milik yang dapat dibedakan lagi menjadi kata ganti diri: (a) pertana, misalnya: aku, (b) kedua, engkau, dan (c) ketiga, misalnya: ia; (4) kata ganti tanya, misalnya: apa, mana, berapa; dan (5) kata ganti sesuatu, misalnya: suatu, sesuatu, apa-apa, seorang, siapa-siapa.
c.       Kata bilangan yang dapat dibedakan menjadi enam golongan, yaitu: (1) bilangan pokok yakni bilangan yang menyatakan banyaknya barang apa juga pun, misalnya: satu, sebelas, dua belas (2) bilangan bantu yaitu kata yang menerangkan jenis benda yang berfungsi membantu bilangan pokok, misalnya: batang, biji, bilah (3) bilangan tak tentu yaitu bilangan yang menyatakan bilangan yang ditetapkan jumlahnya, misalnya: banyak, sedikit, beberapa (4) bilangan himpunan ialah bilangan yang menyatakan banyaknya benda, orang dan lain-lain dalam suatu himpunan, misalnya: ketika pada ketiga orang itu; (5) bilangan tuturan ialah bilangan yang menyatakan bilangan yang berturut-turut, misalnya: kedua, ketiga dan (6) bilangan pecahan, misalnya: setengah, tiga perempat.

            3) Kata-kata pembantu regu II
            Kata-kata pembantu regu II ini dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a.       Kata-kata yang menjelaskan tempat kedudukan kata benda. yaitu: ini, itu
b.      Kata-kata yang menunjukkan kekianan, misalnya: dua, tiga.
c.       Kata-kata keadaan dan kata benda yang memberikan penjelasan kata benda tentang keadaannya, pemiliknya, dan sebagainya, misalnya: kaya pada orang kaya, kata sayapada bapak saya.
            4) Kata-kata pembantu pertalian
            Yang dimaksud dengan kata-kata pembantu pertalian ialah kata-kata yang menjelaskan pertalian kata yang satu dengan kata yang lain, kalimat yang satu dengan kalimat yang lain atau sebagai penjelas tambanan. Kata ini dapat dibedakan menjadi tiga macam.
a.       Kata-kata yang menerangkan kata keadaan dan kata kerja, misalnya: sekali pada elok sekali, terlalu, kerap kali, lebih baik.
b.      Kata-kata yang menghubungkan kata yang satu dengan kata yang lain, kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, misalnya: dari, ke, untuk, dan, oleh.
c.       Kata-kata yang disisipkan dalam kalimat seakan-akan berdiri sendiri, lepas dari ikatan kalimat, Misalnya: nah, hai, sayang, aduh.

C.    Penggolongan Kata oleh Anton M. Meoliono
               Anton M. Moeliono (1967) dalam tulisanya, “Suatu Reonientasi dalam Tata Bahasa Indonesia” yang termuat dalam Bahasa dan Kesusastran Indonsia halaman 45-52, menggolongkan kata berdasarkan kesamaan perilaku sintaktik. Beliau menggolongkannya menjadi tiga rumpun yaitu:  (1) rumpun nominal, (2) rumpun verbal, dan (5) rumpun partikel. Ihktisar Ramlan (l965:42-44) sebagai berikut.

               1) Rumpun Nominal
               Rumpun nominal ialah rurmpun yang diingkari oleh kata bukan dalam suatu konstruksi endosentnik beratribut. Rumpun ini dapat dibedakn menjadi dua anak rumpun yaitu:
a.       Rumpun nominal yang dapat didaului oleh partikel preposisi direktif di, seperti: di rumah, di air, di kertas. Secara arbitrer, anak rumpun ini disebut nominal tak bernyawa.
b.      Rumpun nomial yang didahului oleh partikel pada, seperti: pada anak, pada ibu, pada harimau, pada tanggal, pada hari. Anak rumpun ini secara atbitrer disebut nominal bernyawa.

               2) Rumpun Verbal
               Rumpun verbal ialah rumpun kata yang diingkari oleh kata tidak dalam suatu konstruksi endosentrik yang beratribut. Rumpon ini dapat dibedakan menjadi:
Rumpun verbal transitif ialah rumpun verbal yang secara potensial dapat mendahului obyek nominal dalam konstruksi objektif, misal: bawa buku itu, tulis surat itu.
Rumpun verbal taktransitif ialah rumpun verbal yang tidak berkonstruksi dengan sebuah obyek, tetapi dapat disertai oleh atribut, misalnya: terbang, jauh, tertawa sangat keras.
Rumpun verbal ajektif ialah rumpun verbal yang dapat didahului oleh partikel penunjuk derajat seperti amat dan sangat dalam amat miskin, sangat miski.

               3) Rumpun Partikel
               Rumpun ini keanggotaannya terbatas. Di samping itu biasanya tidak diperluas lagi bentuknya oleh imbuhan dan tidak dapat dijadikan bentuk alas (bentu dasar, pen.) untuk suatu konstruksi morfologik yang lebih lanjut. Menurut kedudukannya dalam kalimat, rumpun dapat dibedakan menjadi lima anak umpun.
a.      Preposisi yang pada umumnya mendahului nominal dan tidak terarah terdapat pada akhir kalimat, yang dapat digolongkan lagi menjadi tiga golongan yakni: (1) preposisi direktif, misalnya: di, ke, dari, pada, (2) preposisi agentif yaitu oleh, dan (3) preposisi penunjuk orang, misalnya: para, si, sang.
b.      Konjungsi yang pada umumnya tidak terdapat pada akhir kalimat dan tidak selalu diikuti oleh nominal, yang dipat dibedakan lagi menjadi. tiga golongan yaitu: (1) konjungsi setara, misalnya: dan, tetapi, namun, atau, (2)konjungsi taksetara, misalnya: sambil, seraya, demi, dan (3) konjungsi korelatif, misalnya: kian…kian, makin…makin, baik…maupun, walau…sekalipun.
c.       Penunjuk kecaraan atau modalita yang distribusinya lebih luas daripada preposisi dan konjugasi. Ada di antaranya yang berbentuk klitika. Kelompok ini dapat dibedakan menjadi sepuluh yaitu: (a) pengingkaran, misalnya: bukan, tidak, (b) penegasan, misalnya:bahva, toh, lah, pun, (c) pertanyaan, misalnya: adakah , apakah, (d) pelarangan, misalnya: jangan, jangan sampai, (e) pengharapan, misalnya: semoga, mudah-mudahan, (f) permintaan, misalnya: silakan, sudila,. (g) penujuan, misalnya: agar, supaya, (h) penguluran, misalnya: meski, biar, (i) pensyaratan, misalnya: jika jikalau, dan (j) penyangsian, misalnya: jangan-jangan, gerangan, entah.
d.      Penunjuk segi atau aspek yang biasanya tidak terdapat pada akhir kalimat dan pada umumnya mendahului verbal. Kelompok ini dapat dibedakan menjadi: (1) segi komplektif, misalnya: telah, sudah, (2) segi duratif, misalnya: sedang, tengah, dan (3) segi berantisipasi, misalnya akar.
e.       Penunjuk derajat yang berdistribusi preverbal atau purnaverbal dan kadang-kadang terdapat pada akhir kalimat, misalnya: amat, sangat, agak, sekali, benar.

D.    Penggolongan Kata oleh Gorys Keraf
               Gorys Keraf dalam bukunya, Tatabahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas (1982:82-92) membagi kata menjadi empat macam yaitu: (1) kata benda atau nomina substantive; (2) kata kerja atau verba; (3) kata sifat atau adjektiva; dan (4) kata tugas atau function word. Beliau membagi kata berdasarkan struktur morfologisnya. Yang dimaksud dengan struktur morfologis adalah bidang bentuk yang memberi ciri khusus terhadap kata-kata itu. Bidang bentuk itu meliputi kesamaan morfem-morfem yang membentuk kata tersebut atau juga kesamaan cirri dan sifat dalam membentuk kelompok kata.
               1) Kata Benda
               Berdasarkan bentuknya, segala kata yang mengandung morfem terikat, ke-an, pe-an, -an, ke-, kita calonkan sebagai kata benda, misalnya: perumahan, perbuatan, kecantikan, pelari, jembatan, kehendak. Berdasarkan kelompok kata, segala macam kata yang dapat diterangkan atau diperluas dengan yang kata sifat adalah kata benda. Contohnya: Tuhan, angin dapat diperluas menjadi Tuhan yang adil, angin yang kencang.Kata ganti yang dalam tatabahasa tradisional merupakan jenis kata tersendiri, dimasukkan menjadi subgolongan kata benda.
               2) Kata Kerja
               Berdasarkan bentuknya, segala kata yang mengandung imbuhan me-, ter-, -kan, di-, -i kita calonkan sebagai kata kerja. Ditinjau dari kelompok kata, segala macam kata yang dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat adalah kata kerja. Contohnya:mendengar, buat dapat diperluas mendengar dengan cermat, buat dengan cepat.
               3) Kata Sifat
               Berdasrkan bentuknya, segala kata dalam bahasa Indonesia bisa mengambil bentukse + reduplikasi kata dasar + nya disebut kata sifat, misalnya: teliti, tinggi, cepat dapat menjadi: seteliti-telitinya, setinggi-tingginya, secepat-cepatnya. Dari segi kelompok kata, kata sifat dapat diterangkan oleh kata-kata: paling, lebih, sekali Contohnya: besar, tingsi dapat diterangkan menjadi besar sekali, paling besar, lebih besar, tinggi sekali, paling tinggi, lebih tinggi.
               4) Kata Tugas
               Dari segi bentuk, kata tugas umumnya sukar sekali mengalami perubahan, seperti: dengan, telah, dan, tetapi. Narnun ada juga yang dapat mengalami perubahan bentuk, walaupun jumlahnya sangat terbatas, seperti: tidak, sudah yang dapat berubah menjadi:menidakkan, menyudahi. Dari segi kelompok kata, kata tugas hanya memiliki tugas untuk memperluas atau mengadakan transformasi kelimat.
               Kata tugas dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: l) kata tugas yang monovalen (bernilai satu) yaitu semata-mata bertugas untuk memperluas kalimat, misalnya:dan, tetapi, sesudah, di, ke, dari dan kata tugas yana ambivalen (berniali dua) yaitu di samping berfungsi sebagai kata tugas yang monovalen dapat juga bertindak sebagai jenis kata lain, baik dalam membentuk suatu kalimat minim maupun mengubah bentuknya, misalnya: sudah tidak.


E.     penggolongan Kata oleh S. Wojowasito
               S. Wojowasito (1976:30-31) dalam bukunya Pengantar Sintaksis Indonesia(Dasar-dasar ilmu kalimat Indonesia) membagi kata menjadi sembilan jenis. Beliau menentukan jenis kata berdasarkan hubungannya di dalam frase atau bentuk itu meliputi kesamaan morfem-morfem yang membentuk kata tersebut atau juga kesamaan cirri dan sifat dalam membentuk kelompok kata.
               1) Kata Benda atau Substantif
               Kata benda yang memiliki cirri-ciri (1) lazim menduduki fungsi subjek atau obyek; (2) lazim diikuti kata itu, (3) dapat didahului oleh proposisi; (4) dapat diikuti oleh nama pribadi; (5) dapat didahului oleh kata bilangan; dan (6) dapat didahulu atau diikuti oleh sesuatu sifat.
               2) Kata Kerja
               Kata kerja memiliki ciri-ciri: (1) lazim menduduki fungsi predikat; (2) lazim rnengikti subjek dan mendahului obyek; (3) dapat diikuti oleh preposisi; (4) dapat digunakan untuk perintah; (5) dapat mengalami perubahan genus (aktif dan pasif); dan (6) dapat didahului oleh kata-kata: boleh, akan, hendak, sedang, telah, sambil.
               3) Kata Sifat
               Kata sifat mempunysi ciri-ciri: (1) lazim mengikut kata benda sebagai kualifikasi atau penjelasan; (2) dapat dimasukkan ke dalam imbangan pangkat-pangkat perbandingan dengan menyertakan kata-kata: lebih, paling; (3) tidak dapat dipergunakan untuk perintah; dan (4) tidak dapat didahului oleh kata-kata: hendak, akan, boleh, sedang, telah (sekalipun terdapat pula peristiwa-peristiwa yang meragukan).
               4) Adverbia
               Adverbia memiliki ciri menduduki fungsi keterangan sekunder (kedua). Yang dimaksud dengan keterangan sekunder ialah keterangan atas keterangan. Contohnya kataamat dalam orang itu amat besarBesar sebagai keterangan primer pada orang itu, danamat sebagai keterangan sekunder pada besar.
               5) Kata Penghubung atau Konjugasi
               Konjugasi memiliki ciri: (1) menghubungkan dua kalimat sejajar atau bertingkat; dan (2) menghubungkan dua kata sejenis secara sejajar, misalnya: dan pada rumah dan halaman, kaya dan miskin.
               6) Kata Seru atau Interjeksi
               Kata seru lazim dipergunakan sebagai motprase yaitu suatu kata yang bertindak sebagai kalimat dengan intonasi seruan; wahai, cis, aduh.
               7) Kata Buangan atau Numeral
               Kata bilangan memiliki cirri-ciri: (1) menyebutkan sesuatu yang obyektif dan untuk tujuan itu tidak dapat diganti oleh lain jenis; dan (2) selalu mendahuiui kata yang dijumlah. Kata bilangan ini masih dapat menjadi kata bilangan tentu, misalnya: satu, dua, lima, dan kata bilangan tak tentu, misalnya: segala, tiap-tiap.
               8) Kata Ganti atau Pronomen
               Kata ganti secara historis dapat dihubungkan dengan istilah pronoun, jadi tidak asal menggantikan kata saja. Jenis ini dapat dibagi lagi menjadi: (1) kata ganti persona; (2) kata ganti milik; (3) kata ganti Tanya; (4) kata ganti tunjuk; dan lain-lain yang pada umumnya telah kita ketahui.
               9) Preposisi

               Preposisi disebut juga kata depan atau kata perangkai, ia memiliki ciri-ciri: (1) rnemiliki fungsi adverbial; (2) biasanya berada di muka kata benda; dan (3) menyatakan hubungan sebagai terkandung di dalam kate preposisi itu sendri terhadap pernyataan kanan kirinya. Dalam kenyataannya, preposisi itu tidak selalu berada di muka kata benda, tetapi ada pula preposisi yang di belakangnya. Yang terakhir sebenarnya hanya ada pada bahasa Barat.